Telah kita ketahui bersama lewat buku-buku
sejarah ataupun peninggalan-peninggalan sejarah itu sendiri, bahwa
daerah-daerah di Indonesia pada umumnya dan termasuk pulau Jawa, pada jaman
dahulu dikuasai oleh kerajaan-kerajaan besar maupun kecil. Hal ini tidak
terkecuali mengenai wilayah sebelah timur gunung Lawu, yang sekarang ini kita
kenal dengan nama daerah Kabupaten Magetan.
Pada buku sejarah Kabupaten
Magetan telah disebutkan, bahwa kita tidak mungkin mengungkapkan sejarah
Magetan tanpa mengemukakan masalah kerajaan terdekat yang berkuasa serta
masalah-masalah VOC atau kompeni Belanda. Berikut peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan lahirnya Kabupaten Magetan :
- Wafatnya Sultan Agung
Hanyokrokusumo pada tahun 1645 merupakan tonggak sejarah mulai surutnya
kejayaan kerajaan Mataram. Beliau sangat gigih melawan VOC, sedangkan
penggantinya ialah Sultan Amangkurat I yang menduduki tahta kerajaan
Mataram pada tahun 1646-1677 dimana sikapnya yang lemah terhadap VOC atau
kompeni Belanda.
- Pada tahun 1646 Sultan
Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan VOC, sehingga VOC dapat
memperkuat diri karena bebas dari serangan Mataram, bahkan pengaruh VOC
dapat leluasa masuk Mataram. Kerajaan Mataram menjadi semakin lemah,
pelayaran perdagangan menjadi dibatasi tidak diperbolehkan melakukan
pelayaran ke pulau Banda, Ambon dan Ternate. Peristiwa tersebut
menyebabkan tumbuhnya tanggapan yang negatif terhadap Sultan Amangkurat I
di kalangan keraton, terutama pihak oposisi, termasuk putranya sendiri
yaitu Adipati Anom yang kelak bergelar Amangkurat II. Kejadian-kejadian di
pusat pemerintahan Mataram selalu diikuti oleh daerah Mancanegara,
sehingga pangeran Giri yang sangat berpengaruh di daerah pesisir utara
pulau Jawa mulai bersiap-siap melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Pada
masa itu seorang pangeran dari Madura yang bernama Trunojoyo sangat kecewa
pada pamannya yang bernama pangeran Cakraningrat II kerena terlalu
mengabaikan Madura dan hanya bersenang-senang di pusat pemerintahan
Mataram. Trunojoyo melancarkan pemberontakan terhadap Mataram pada tahun
1674.
- Dalam suasana seperti
itu kerabat keraton Mataram yang bernama Basah Bibit atau Basah
Gondokusumo dan patih Mataram yang bernama pangeran Nrang Kusumo dituduh
bersekutu dengan para ulama yang beroposisi dan menentang kebijaksanaan
Sultan Amangkurat I. Atas tuduhan tersebut Basah Gondokusumo diasingkan ke
Gedong Kuning Semarang selama 40 hari ditempat kediaman Kakek beliau yang
bernama Basah Suryaningrat. Patih Nrang Kusumo meletakkan jabatan dan
pergi bertapa ke daerah sebelah timur gunung Lawu. Beliau diganti oleh
adiknya yang bernama Pangeran Nrang Boyo II. Keduanya ini putra patih
Nrang Boyo (Kanjeng Gusti Susuhunan Giri IV Mataram).
- Dalam pengasingan
tersebut Basah Gondokusumo mendapat nasehat dari kakeknya, yaitu Basah
Suryaningrat dan kemudian beliau berdua menyingkir ke daerah sebelah timur
gunung Lawu. Beliau berdua memilih tempat ini karena menerima berita bahwa
di sebelah timur gunung Lawu sedang diadakan babad hutan. Babad hutan ini
dilaksanakan oleh seorang yang bernama Ki Buyut Suro, yang kemudian
bergelar Ki Ageng Getas. Pelaksanaan babad hutan ini atas dasar perintah
Ki Ageng Mageti sebagai cikal bakal daerah tersebut.
- Untuk mendapatkan
sebidang tanah untuk bermukim di sebelah timur gunung Lawu itu, Basah
Suryaningrat dan Basah Gondokusumo menemui Ki Ageng Mageti di tempat
kediamannya yaitu dukuh Gandong Kidul (Gandong Selatan), tempatnya di
sekitar alun-alun kota Magetan dengan perantaraan Ki Ageng Getas. Hasil
dari pertemuan ini Basah Suryaningrat diberi sebidang tanah disebelah
utara sungai gandong, tepatnya di desa Tambran Kecamatan kota Magetan
sekarang. Peristiwa ini terjadi setelah melalui suatu perdebatan yang
sengit antara Ki Ageng Mageti dengan Basah Suryaningrat. Lewat perdebatan
ini Ki Ageng Mageti mengetahui bahwa Basah Suryaningrat bukan saja kerabat
keraton Mataram, melainkan sesepuh Mataram yang memerlukan pengayoman.
Karena itu akhirnya Ki Ageng Mageti mempersembahkan seluruh tanah miliknya
sebagai bukti kesetiannya terhadap Mataram. Setelah Basah Suryaningrat
menerima tanah persembahan dari Ki Ageng Mageti itu sekaligus mewisuda
cucunya yaitu Basah Gondokusumo menjadi penguasa di tempat baru itu dengan
gelar Yosonegoro yang kemudian dikenal sebagai Bupati Yosonegoro.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Oktober 1675. Basah Suryaningrat dan
Basah Gondokusumo merasa sangat besar hatinya, karena telah mendapatkan
persembahan tanah yang berwujud suatu wilayah yang cukup luas dan penuh
dengan perhitungan strategis, juga mendapatkan sahabat yang dapat
diandalkan kesetiannya, yaitu Ki Ageng Mageti. Itulah sebabnya tanah baru
itu diberi nama Magetian, dan akhirnya berubah nama menjadi Magetan.